Halo semua! Pada kesempatan kali ini, aku ingin berbagi cerpen buatanku yang berjudul "Dekap Jumpa Kini." Cerpen ini aku buat dalam rangka menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia. Udah penasaran gimana ceritanya? Yuk, langsung aja disimak!
Dekap Jumpa Kini
Oleh
Muhammad Marsa Ilmi
Kenzie, ya itu namaku. Hari ini, ku mulai kembali rutinitas
sehari-hariku, sendirian. Mandi, sarapan, home schooling, dan
belajar. Ya, semoga saja bisa jalan-jalan. Tapi sepertinya tak mungkin. Hanya
begitu setiap hari.
Tanpa aku sadari, sudah belasan tahun aku menjalaninya. Orang
tuaku sangat bersikeras menjadikanku seorang dokter, seorang dokter muda. Aku
dipaksa untuk home schooling setiap hari, bahkan sesekali di
hari Minggu, di saat remaja lain sedang menikmati liburan akhir pekannya.
Sangat membosankan memang. Aku tidak diberi cukup kesempatan untuk refreshing
secara rutin. Mungkin hanya sekali dalam sebulan. Rutinitas ini benar-benar
membuat kepalaku serasa ingin pecah. Memang sih, semua itu mereka lakukan demi
masa depanku. Namun seperti itulah, aku kurang sependapat dengan cara mereka
melakukannya. Menurutku, cara mereka memaksaku justru membuat aku semakin jenuh.
****
Sejak dulu, aku punya satu mimpi. Suatu saat nanti, aku ingin
sekali bisa bersekolah di sekolah umum seperti remaja kebanyakan. Aku jadi bisa
bersosialisasi, bisa bercengkrama dan bercanda, dan yang terpenting aku jadi
punya banyak teman. Tapi kembali lagi, sepertinya itu mustahil. Ayah dan Ibuku
yang seorang pengusaha besar, dengan segala kesibukannya sangat protektif
terhadapku.
Mereka bilang pergaulan di sekolah umum itu sangat buruk dan dapat
menjerumuskanku ke jurang kegagalan. Padahal kan tidak semuanya seperti itu.
Masih banyak kok remaja-remaja yang baik. Lagipula, semua itu bergantung pada
diri kita masing-masing. Bergantung pada bagaimana cara kita menjalankan
pergaulan. Jika kita pandai dalam bergaul, aku rasa semuanya akan berjalan
baik.
Menurutku, justru Ayah dan Ibuku lah yang harus merubah kebiasaan
mereka. Mereka tidak pernah meluangkan waktunya buatku. Dengan tidak bersekolah
di sekolah umum, seharusnya mereka jadi punya lebih banyak waktu buatku. Karena
jujur saja, aku tidak punya banyak teman. Mungkin hanya teman les musik saja
yang kupunya sekarang, dan itupun hanya satu, disamping Bi Ina dan Mang Agus, baby
sitter dan sopir pribadiku. Hanya mereka yang menjadi temanku
sehari-hari. Jujur saja, aku benar-benar butuh perhatian orang tuaku.
Oh iya, musik. Aku sangat menyukai musik. Setiap pekan di
hari Jumat dan Sabtu, terkadang aku meluangkan waktu untuk mengikuti les musik
sekaligus les vokal. Sebenarnya jika besar nanti, aku sangat ingin menjadi
seorang musisi dan penyanyi profesional, terutama biola. Tapi, kembali lagi,
orang tuaku. Mereka melarangku menjadi seorang musisi. Aku sangat sedih ketika
mereka mengatakannya.
Mereka bilang, musisi adalah pekerjaan sampingan, jangan dijadikan
target sebagai pekerjaan utama. Mereka benar-benar terobsesi dan menginginkanku
menjadi seorang dokter. Padahal, cita-cita merupakan hak bagi setiap
orang, bukan? Dan cita-cita tersebut sudah seharusnya ditentukan atau dipilih
oleh masing-masing individu. Tapi kenapa? Kenapa cita-citaku harus diatur? Aku
benci mengatakannya, tapi apa daya? Akan menjadi jauh lebih salah jika aku
harus melawan orang tuaku. Lebih baik aku diam dan menurut, begitu kata Bi Ina.
****
Hari ini hari Jumat. Rencananya, sore nanti aku akan kembali
mengikuti les musik. Jika tidak ada halangan. Karena sering sekali orang tuaku
menyuruhku untuk tidak mengikuti les dengan alasan harus belajar. Mengesalkan
sekali memang.
Sore hari, akupun bersiap untuk berangkat. Aku bergegas mandi.
Kemudian, kuambil tas merah mungilku yang biasa kubawa pergi keluar rumah. Tak
lupa pula kubawa tas biolaku beserta isinya. Aku selalu merasa senang
membawanya. Serasa tubuh ini menjadi hangat bila memainkannya. Aku merasa aman
seaman-amannya. Benar-benar biola kesayanganku. Kemudian, bergegas aku
memanggil Mang Agus, sopir pribadi kesayanganku.
“Mang Agus! Keke sudah siap,” panggilku dengan girang. Ya, Keke,
itu panggilan kesayangan Mang Agus dan Bi Ina kepadaku.
“Segera Non Keke,” jawabnya dengan lantang dan tegas.
Aku selalu menunggu-nunggu jawaban itu jika akan pergi keluar
rumah. Karena jujur saja, aku sedikit takut jika harus keluar rumah tanpa Mang
Agus. Dengan kesanggupannya menemaniku, aku merasa sangat terlindungi olehnya.
Ya mungkin, itu efek keprotektifan orang tuaku yang berlebihan. Sehingga, aku
selalu merasa tidak aman jika keluar rumah tanpa Mang Agus. Dia sudah seperti bodyguard ku
sendiri.
Sore itu, cuaca mendung pekat. Bi Ina menyuruhku membawa payung
untuk berjaga-jaga bila hujan turun secara tiba-tiba di tempat les. Akupun
menurutinya. Entah mengapa, kebanyakan instingnya selalu benar jika berkaitan
denganku. Wajar saja, sejak bayi ialah yang merawatku. Ia sudah bekerja pada
orang tuaku selama 25 tahun. Saat Bi Ina masih muda, suaminya pergi meninggalkannya
tanpa pamit. Untungnya, Bi Ina belum dikarunai satu orang anak pun. Sehingga,
tidak ada beban merawat yang harus ditanggung oleh Bi Ina. Sejak saat itu, Bi
Ina memutuskan untuk bekerja pada orang tuaku.
Aku merasa sangat beruntung punya Bi Ina. Tanpanya, mungkin aku
tidak bisa menjadi seperti sekarang ini. Dialah yang menjadi tempat curhat dan
berkeluh kesahku setiap hari. Dia yang selalu menghiburku di kala sedih. Dia
yang selalu menasihatiku dengan lembut dan perlahan bila ada perbuatan atau pemikiranku
yang salah. Bagiku dia sudah seperti ibuku sendiri. Ibu yang sangat baik dan
perhatian. Ah sudah lah, jadi terbawa suasana.
Karena perintah Bi Ina, aku pun bergegas masuk kembali ke ruang
tamu untuk mengambil payung mungil kesayanganku. Sebuah payung bermotif
polkadot berwarna ungu dengan renda merah muda di tepinya. Payung itulah yang
selalu kubawa bila bepergian di musim hujan, juga saat cuaca sedang panas.
Apalagi, siapa yang tidak tahu Jakarta? Inilah yang menjadi ciri khas ibukota
Jakarta. Kalau sudah musim hujan, tidak ada hentinya air hujan turun.
Ujung-ujungnya, banjir deh.
Setelah persiapan selesai, aku pun segera masuk ke dalam mobil.
Kemudian, dengan wajah polosnya yang bersahaja, Mang Agus menutupkan pintu
mobilnya untukku. Ia pun bergegas masuk. Sungguh perlakuan yang terhormat.
Terkadang, aku sempat meneteskan air mata karenanya. Ia begitu baik kepadaku.
Di perjalanan ke tempat les, aku selalu bercerita dan bercanda
dengan Mang Agus. Sebenarnya, aku tau itu perbuatan yang kurang baik, karena
bisa mengganggu konsentrasi Mang Agus saat menyetir dan dapat berakibat pada
kecelakaan lalu lintas. Akan tetapi, jika Mang Agus yang menyetir, aku selalu
merasa aman. Lagipula, sebagian besar pembicaraan selalu dimulai oleh Mang
Agus. Mana bisa aku menolak. Dia sudah seperti ayahku sendiri.
Detik demi detik, menit demi menit, kami bercanda, kami tertawa,
sangat kunikmati perjalanan bersama Mang Agus. Pada akhirnya, hampir sampailah
kami di tempat les musik. Dan ternyata, perkiraan Bi Ina benar. Dua menit
sebelum sampai ke tempat les, hujan turun dengan lebatnya.
Mendadak suhu udara di sekitarku menjadi sangat dingin. Dengan
tanpa diperintah, Mang Agus langsung bergegas mematikan AC mobilnya untukku. Ku
sampirkan jaket hangatku hingga ke kepala, dan ku pasang seluruh manik yang
ada. Setelah sampai, aku pun bersiap untuk turun. Ku buka secara perlahan pintu
mobilku sambil ku lebarkan payung polkadot milikku. Aku tidak ingin Mang Agus
mendahuluiku. Karena jika itu terjadi, bisa dipastikan tubuhnya akan basah
kuyup karenaku. Aku tidak ingin ia sakit. Siapa yang akan menemaniku keluar
rumah jika ia jatuh sakit? Aku akan sangat kerepotan bila hal itu terjadi.
Setelah turun, aku pun berpamitan pada Mang Agus. Ku ucapkan
selamat tinggal padanya. Cuaca saat itu yang sedang hujan lebat membuatku
tergesa-gesa dan bergegas masuk ke gedung les tanpa pikir panjang.
Di dalam gedung, aku melihat sahabat baikku, Tania namanya.
Tampaknya, ia juga baru datang. Ya, Tania. Gadis cantik, ramah, dan baik hati. Kabarnya,
banyak lelaki di tempat les kami yang naksir kepadanya. Dengan semua yang ia
miliki, buatku itu wajar saja. Aku yang seorang perempuan saja merasa sangat
beruntung punya sahabat sepertinya. Tapi juga sedikit iri sih. Bukan karena
kecantikannya, tapi karena orang tuanya yang sangat baik dan perhatian pada
Tania.
Bayangkan saja. Ayah Tania yang juga seorang pengusaha besar,
bahkan perusahaannya bisa dibilang lebih besar dari Ayahku. Mereka masih paham
akan kebutuhan putrinya. Mereka memperbolehkan Tania untuk bersekolah di
sekolah umum. Dan lagi, Ibunya. Ibunya memutuskan untuk tidak bekerja demi
meluangkan waktunya untuk Tania. Sementara Ibuku? Ia justru menemani Ayah
mengelola perusahaan sebagai Vice CEO.
Jujur saja, aku sering sekali cemburu pada Tania. Mereka juga
sangat mendukung cita-cita Tania menjadi seorang Pianis professional.
Terkadang, rasa iri tersebut menyeruak secara tiba-tiba dalam benakku. Entah
apa yang menyulutnya.
Aku sering cerita tentang Tania pada Bi Ina. Bi Ina selalu
mensihatiku untuk tidak iri kepadanya. Menurutnya, iri hanya akan membawaku
pada permusuhan. Dan itu artinya, persahabatan kami akan rusak karenanya.
Memang benar sih, lagipula aku tidak ingin kehilangan teman yang sangat baik
kepadaku. Tania benar-benar satu-satunya teman yang ku punya. Tentu saja, aku
tidak ingin menyia-nyiakannya. Setelah itu, akupun berlari kecil ke arah
Tania sambil berteriak memanggilnya.
“Hei, Tania! Sudah siap untuk les?” teriakku.
“Hei, Kenzie! Tentu saja. Ngomong-ngomong, kamu ada halangan apa
Sabtu lalu? Padahal, aku sangat menunggu kedatanganmu.”
“Eee…iya. Sebenernya Tan…”
“Kenapa? Orang tuamu lagi, ya?”
“Eh… iya. Mereka kembali melarangku untuk les musik. Aku sedih Tan.
Sedih banget. Untungnya, hari ini aku diperbolehkan kembali untuk les musik.”
“Duh, sabar aja deh Ken, aku bisa apa coba? Ya, kalo ada
kesempatan, aku bakalan bantu deh. Aku bakal coba ngomong sama ortu kamu buat
ngebolehin kamu les secara rutin. Ya?”
“Duh, makasih banyak ya, Tan. Kamu bener-bener sahabat terbaikku.
Aku nggak tahu harus bilang apa.”
“Iya, sama-sama Ken. Lagipula itu bukan apa-apa kok. Ya memang
cuma itu yang bisa aku lakuin. Semangat Kenzie!”
Kamipun berpelukan satu sama lain. Saking terharunya, air mataku
sampai menetes sedikit demi sedikit. Aneh bukan? Terkadang aku merasa jengkel
pada diriku sendiri. Aku merasa terlalu cengeng dan mudah menangis. Tapi mau
bagaimana lagi? Beginilah aku. Jujur saja, aku adalah orang yang sangat mudah
terbawa suasana. Terutama suasana haru dan sedih. Jadi, mohon maklum saja ya.
“Ya sudah, kalau begitu ayo kita masuk. Malu dilihat orang, Ken.”
“Mmm..Iya.Maaf ya, kalau aku cengeng. Oke, Tan! Ayo kita masuk.”
Kamipun bergegas masuk ke dalam kelas. Langkah demi langkah kami
titih. Dan saat kubuka pintu kelas, terdapat pemandangan yang tak biasa kami
lihat. Setiap les, biasanya hanya kami berdua yang menempati satu kelas. Hanya
aku dan Tania.
Tapi tanpa kami sangka, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Seorang
laki-laki yang menurut Tania tampan duduk memainkan piano yang biasa Tania
mainkan. Memang sih, biasanya itu tempat Tania. Kami pun terheran-heran. Wajah
Tania pun sedikit demi sedikit memerah. Tampaknya ia terkagum-kagum dengan
lelaki itu. Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkah Tania. Terlihat tak biasa
dan lucu buatku.
Selama ini, sudah banyak laki-laki yang naksir pada Tania. Tapi,
tidak satupun yang berhasil membuatnya jatuh hati. Baru kali ini ia bisa
bertingkah seperti itu. Apa Tania benar-benar jatuh hati padanya? Apa karena ia
seorang pianis yang jago? Dan cocok jadi teman duet si Tania? Itu semua mungkin
saja. Sebab, tak ada yang tak mungkin buat Tania. Dia benar-benar sulit sekali
ditebak. Aku saja yang sudah lama jadi sahabatnya masih merasa sangat sulit
menebak sikapnya. Benar-benar membingungkan. Tapi yang pasti, sebagai sahabat
yang baik, aku akan selalu mendukung apapun keputusannya. Toh, sepertinya dia
pria yang baik dan cocok jadi pasangan si Tania. Selang beberapa saat,
guru kami pun tiba.
“Kenzie, Tania, perkenalkan. Ini Reza. Mulai hari ini, Kalian akan
satu kelas bersamanya. Sebenarnya, sudah lama ia les disini, tapi pada jadwal
yang berbeda. Dan karena suatu hal, ia harus merubah jadwal lesnya. Ia memilih
untuk les pada jadwal yang sama dengan kalian. Menurut prosedur kami, dalam
satu kelas maksimal bisa diisi setidaknya 5 orang. Itu artinya, kami tidak
dapat menolak perubahan jadwal yang diajukan oleh Reza. Nah, semoga kalian
cepat akrab, ya!”
“Eh, hehehe, iya Miss,” Tania menjawabnya dengan sedikit gugup dan
malu-malu.
Reza yang seketika menghentikan permainannya pun hanya tersenyum
kecil. Setelah itu, kami pun memulai latihan pada hari itu. Awalnya, kami
sangat canggung. Kami sama sekali tidak berinteraksi satu sama lain. Suasana
kelas yang biasanya hangat oleh canda tawa Tania dan aku, seketika menjadi
beku. Kami masih perlu waktu untuk beradaptasi.
Namun, pekan demi pekan kami lewati. Kami pun mulai bisa akrab
dengan Reza. Ternyata benar, Reza itu pria yang baik. Dia ramah, seperti Tania.
Dia benar-benar memberikan warna baru pada hari-hariku. Aku merasa sangat
senang bisa punya teman baru yang baik seperti dia. Reza orangnya juga cukup
perhatian. Namun sayangnya, aku masih tidak bisa mengikuti les secara rutin dan
bertemu dengannya setiap pekan. Lagi-lagi, hal itu disebabkan karena orang
tuaku yang melarangnya. Aku benar-benar sebal sekali.
****
Pekan demi pekan semakin berlalu. Aku mulai merasa ada sesuatu
yang berbeda pada Reza. Kalau tidak salah, tampaknya ia mulai curi-curi pandang
terhadapku. Hihihihihi. Apa aku yang terlalu GR, ya? Aku jadi malu. Tapi, aku
tak mau menanggapinya serius. Aku cuma nggal mau menyakiti perasaan Tania yang
sepertinya sangat berharap pada Reza. Nggak! Nggak boleh!
****
Hari ini hari Jumat, aku kembali tidak diperbolehkan untuk les
musik oleh orang tuaku. Betapa sedihnya aku saat mereka melarangku untuk les
musik pada hari ini. Aku berlari ke kamarku dan kututup pintunya dengan
agak keras. Kulemparkan tubuhku ke atas tempat tidur dan kututup kepalaku
dengan tas merahku. Seketika itu, aku menangis. Aku benar-benar ingin
menghadiri les musik. Bagiku, orang tuaku sudah benar-benar kejam terhadapku.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku menyerah.
Badanku tiba-tiba lemas. Air mata terus mengalir sementara suara
tangisku semakin tersedu-sedu. Tangisanku tak kunjung usai sampai sekitar
setengah jam. Setelah itu, aku pun tidak sengaja tertidur. Namun, setelah aku
tertidur selama 10 menit, tiba-tiba ada sesuatu yang membangunkanku. Aku
terkejut, tiba-tiba Reza datang ke rumahku. Bi Ina yang saat itu sedang
membuang sampah keluar rumah pun tiba-tiba berteriak.
“Non Keke, ada temannya tuh datang!” teriaknya.
“Ha? Siapa Bi?” jawabku.
Aku sangat terkaget-kaget mendengar ha tersebut. Setauku, hanya
Tania dan Reza lah teman yang ku punya. Dan sekarang, mereka berdua sedang les
musik. Tanpa pikir panjang, aku pun segera membuka tirai jendela kamar dan
pandanganku pun langsung tertuju ke arah gerbang utama. Saat kulihat, ternyata
berdiri sesosok pria yang tidak asing lagi buatku. Ya, itu Reza.
Ia datang dengan membawa seikat bunga mawar merah muda. Tampak
cantik sekali. Aku juga melihatnya membawa sekotak hadiah berwarna ungu dengan
pita merah maroon, yang ternyata isinya adalah coklat. Aku pun bergegas membuka
pintu kamar dan beranjak menuruni tangga. Aku berlari ke arah Reza. Dan
ternyata, Tania pun turut bersamanya.
Aku pun terdiam. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku ingin melihat
wajah Tania, tapi aku tak berani menatapnya. Aku takut ia marah karena hal ini.
Aku takut. Takut sekali. Akhirnya, ku beranikan diriku untuk mulai
menatapnya. Dan diluar perkiraanku, ia justru tersenyum dan berkata,
“Jadi selama ini, kamu beranggapan seperti itu ya, Ken?”
“Ha? Anggapan? Anggapan apa?”
“Hihihihi. Kamu benar-benar membuatku tertawa Kenzie. Ya, aku
tahu. Ia tampan, ramah, dan baik. Tapi, kami hanya sebatas teman kok.”
“Ah, apaan sih. Aku bener-bener nggak paham apa yang kamu maksud,
Tania!”
“Udah deh, Ken. Nggak usah malu-malu. Nggak usah ditutup-tutupi.
Aku tahu kok perasaan kamu yang sebenarnya. Jujur deh. Ayo, ngaku!”
“Perasaan apa sih, Tan? Reza? Aku cuma temenan kok sama dia.
Lagipula, aku cuma nggak pengen kita jadi bermusuhan karena ini. Bagiku, kamu
dan dia itu udah cocok banget, Tania”
“Nah kan, Bener. Jadi Ken, selama ini itu kamu itu cuma salah
paham. Justru saat kamu nggak dateng les, ia sering curhat sama aku. Ia selalu
cerita tentang kamu. Dan setelah itu, ternyata aku baru sadar, sebenarnya kamu
itu juga ada rasa kan sama Reza? Tapi karena kamu anggap aku naksir sama dia,
kamu jadi malu untuk mengakuinya. Iya kan, Ken? Oke, mulai sekarang aku bakalan
nglurusin semuanya, oke?”
“Mmhh.. Sebenarnya iya sih, Tan. Semua itu bener. Balik lagi, aku
cuma nggak mau persahabatan kita rusak. Tapi, satu masalah lagi, orang tuaku.
Mereka nggak bakal ngebolehin aku ada hubungan macem-macem sama cowok. Bisa
tamat aku, Tania!”
“Udahlah, kalau itu aku yang atur aja. Lagipula, aku juga sudah
berjanji kan sama kamu, soal les musik itu. Aku bakalan bicara soal les musik
itu ke orang tuamu. Aku dan Reza juga sudah sepakat kok.”
“Iya Ken, bener,” sambung Reza.
“Ha? Reza juga? Mmhh..Gimana ya?” aku pun merasa sedikit ragu.
Aku pun menjadi bimbang dan tak tahu harus berkata apa. Ternyata,
setelah mendengar masalahku dengan orang tuaku. Reza jadi bersikeras ingin
berbicara dengan orang tuaku. Tapi setelah kupikir-pikir, lebih baik mereka
tidak usah melakukannya. Aku rasa, hal tersebut malah akan membuat orang tuaku
semakin marah. Bahkan, mereka mungkin akan mencabut jadwal les musikku. Aku
rasa Bi Ina juga akan sependapat denganku. Tapi apa daya? Mereka malah
memaksa. Mereka berpendapat bahwa aku harus memperjuangkan cita-citaku.
“Aku hanya tidak ingin cari masalah Tan, Rez. Aku sudah cukup
senang seperti ini. Memang sih aku merasa sangat sengsara. Tapi…”
Hatiku semakin gundah. Aku merasa, Bi Ina, Mang Agus, Tania, dan
Reza, mereka sudah cukup menjadi pelipur laraku. Lagipula, aku tidak ingin
membawa mereka pada masalah yang tidak seharusnya mereka alami. Aku tidak
ingin. Tapi kembali lagi. Apa daya? Mereka tetap bersikeras ingin berbicara
dengan orang tuaku. Aku tidak bisa menolak. Aku tak bisa berbuat banyak.
Akupun terpaksa harus menggantungkan jawabanku pada Reza. Mereka
akhirnya berpamitan pulang. Cuaca sedang gerimis. Aku merasa sangat bersalah.
Di cuaca yang sedang buruk seperti sekarang ini, mereka justru mengorbankan
waktu lesnya untuk melihatku kemari. Aku benar-benar merasa serba salah.
****
Malam hari, saat itu tampaknya sedang berlangsung fenomena supermoon. Bulan
purnama super besar yang hanya terjadi beberapa kali bahkan sekali dalam
setahun. Sambil menatap ke arahnya, aku terus memikirkan perkataan teman-temanku.
Apa mereka benar-benar akan melakukannya? Apa mereka benar-benar akan bicara
pada orang tuaku?
Dan lagi, Reza. Aku tidak dapat berhenti memikirkannya. Seorang
pria tampan, baik, dan ramah, ternyata suka kepadaku. Namun, bukan itulah yang
menjadi beban pikiranku. Aku tak tahu harus menjawab apa kepada Reza.
Sebenarnya, aku tidak ingin menolaknya. Aku tidak ingin menyakiti perasaannya,
juga Tania. Namun, aku tidak yakin orang tuaku akan membolehkanku berpacaran
dengannya. Sudah bisa ditebak, mereka akan menceramahiku habis-habisan. Mereka
pasti akan melarangku. Gundah-gundah yang kurasakan kini semakin merebak di
keheningan.
Kisah
Belum Usai
Dekap
jumpa
kata
tak berucap
sampai
akhir kini atau esok
Sembuhkan
malam
arungi
samudera mimpi
menetas
pagi
Berlari
melintasi ilalang
dan
luka sebentar
dalam
asing keterasingan
menggerus
buih pengampunan
Jika lebih menyala
masa depan terbuka
melambai dari jauh
diantara kau dan aku
Kupikir ini akan usai
tapi musim
mendatangkan hujan dan angin
membuat jiwa tersesat
pada siapa kita?
Aku hanyalah tipuan kosong
yang mencerca kegelapan
dalam penantiannya dari tadi
Hingga kutulis di awan terakhir
tentang kesendirian yang terbang
melintasi riak-riak rindu
menunggunya disini
untuk secangkir
tawa renyah
Bila
cinta
jerat
menjalani
menutup,
mungkin
Roda-roda letih
dan tinggal kosong
remukkan hati
Bisa
kunyanyikan
tembang
hidup
seperti
apa adanya aku
Entah, kau pekak
atau berpura saja
aku tak untukmu
Lupakan, aku
Di bawah sinar sang rembulan, aku pun menangis. Menangis untuk
kedua kalinya di hari ini. Aku tak dapat menahan air mataku keluar dan
bercucuran. Mencoba untuk tenang, aku pun memutuskan untuk menulis sebuah
puisi. Puisi untuk melampiaskan perasaanku yang sebenanrnya kepada Reza. Hanya
dengan cara menulislah aku bisa tenang. Curhat ke Bi Ina saja, aku masih tidak
berani. Bulan malam ini seperti membawa kesan rindu yang mendalam kepadaku.
Rindu yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Rindu yang tidak sepenuhnya bisa ku
ungkapkan ke dalam kata-kata.
****
Keesokan harinya, sebelum orang tuaku berangkat ke kantor.
Ternyata mereka pun benar-benar tiba. Mereka tidak main-main dengan perkataan
mereka. Aku benar-benar merasa takut. Nasibku serasa berada diujung tombak. Aku
tidak tahu apa yang akan terjadi.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengunci diri di dalam kamar. Aku
berpikir, akan lebih baik bila membiarkan mereka melakukannya sendiri. Aku cuma
takut. Takut sekali.
Di dalam kamar, ku tutup kepalaku dengan bantal dan guling.
Kututup rapat-rapat telingaku. Aku tak ingin mendengar perbincangan mereka.
Sampai pada akhirnya, hanya suara Reza yang samar-samarlah yang bisa kudengar.
Suara Taniapun terdengar sangat kabur olehku.
Kemudian, setelah suara-suara itu semakin memudar. Sedikit demi
sedikit mulai kubuka bantal yang kutempelkan di kepalaku. Kutarik napas
dalam-dalam untuk menenangkan diri. Jantungku semakin berdegup kencang. Aku
sama sekali tak tahu bagaimana reaksi orang tuaku menanggapi tindakan mereka.
Selang beberapa saat, terdengar suara ketukan pintu. Seketika,
darahku serasa terpompa dengan sangat kencang. Perlahan-lahan aku berjalan ke
arah pintu untuk mengetahui ada siapa dibaliknya. Kemudian, aku mendengar suara
orang tuaku,
“Kenzie… Buka pintunya!” ternyata kedua orang tuaku lah yang mengetuk
pintu.
Jantungku semakin berdebar begitu kencang. Aku sudah pasrah. Dalam
benakku, terbayang sudah aku yang tak akan bisa les musik lagi. Mereka pasti
akan marah kepadaku. Namun ternyata, semua itu justru berkebalikan.
“Kenzie.. Ayolah! Buka pintunya! Ayah dan Ibu ingin minta maaf.
Maaf karena telah menekanmu selama ini. Maaf karena telah memaksamu selama ini.
Mulai sekarang, kami akan membebaskanmu menentukan cita-citamu sendiri. Kami
akan membolehkanmu bersekolah, les musik, dan yang terpenting, Ayah dan Ibu
sudah dengar soal Reza. Kami akan sangat mendukung hubunganmu dengan dia. Ia
adalah pria baik, bijaksana, dan karena dia lah kami jadi sadar. Ayolah,
Kenzie! Buka pintunya!” ujar mereka.
Aku pun segera membuka pintu. Dan seketika itu, aku merasa ingin
memeluk mereka erat-erat. Selama ini aku sangat mendambakan bisa berpelukan
dengan orang tuaku yang sangat aku sayangi. Aku sangat senang mereka bisa
mengerti aku. Tak lupa aku berterimakasih pada Tania dan Reza. Bi Ina dan Mang
Agus pun turut menangis bahagia karena hal tersebut. Aku bahagia sekali. Tak
pernah aku merasa sebahagia ini sebelumnya.
****
Sejak saat itu, aku sudah diperbolehkan untuk bersekolah di
sekolah umum. Aku pun meminta kepada mereka untuk bersekolah di sekolah yang
sama dengan Reza. Tania pun memutuskan untuk pindah sekolah bersama kami. Hal
tersebut dilakukan untuk mempererat tali persahabatan kami. Kami tidak ingin
persahabatan kami hanya sebatas dua kali seminggu. Dan karena kami telah satu
sekolah, kami memutuskan untuk membuat band bersama dengan beberapa gadis
tambahan. Kami pun mulai menjalani latihan rutin. Aku sangat senang karenanya.
Kami pun sangat sering mengikuti kompetisi di berbagai tempat. Dan
yang membuat kami bangga, kami berhasil menyabet banyak penghargaan baik
melalui penganugerahan maupun melalui kompetisi itu sendiri. Walaupun masih di
tingkat lokal Jakarta sih. Tapi hal itu benar-benar membuat kami merasa sangat
bangga. Kami akan terus berusaha demi meraih cita-cita kami. Menjadi seorang
musisi profesional.
Namun suatu saat, Reza memintaku untuk mengajarkannya bermain
biola. Aneh sekali buatku. Ia yang seorang pianis, mau-maunya ia belajar biola.
Namun tentu saja, aku tak bisa menolak. Bagiku, dialah penyelamat hidupku.
Penyelamat cita-citaku. Sejak saat itu, saat Reza dan Tania mulai berbicara
dengan orang tuaku, hidupku jadi berubah. Aku jadi punya banyak teman. terutama
teman terbaikku. Tania, dan Reza yang sangat aku
cintai.
Sebuah cerita pendek pun kuciptakan. Cerita inilah. Cerita yang
menggambarkan titik balik kehidupanku. Kehidupanku dulu, dekap jumpa yang
jarang, tangisan, dan kepedihan. Sesuatu yang tak pernah kusangka akan
berakhir, ternyata bisa menemui titik balik seperti sekarang ini. Mimpi
kecilku dulu, tercapai sudah. Dekap jumpa yang selama ini jarang kurasakan,
bertolak sudah. Tania juga Reza.
Sejak itu, tak lupa aku selalu berdoa kepada Tuhan. Memohon semoga
kebahagiaan ini tidak terusik, tidak terganggu, dan akan abadi dalam
kehendak-Nya. Semoga Tuhan mendengar semua doaku. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar